Oleh:
HERWAN SALEH
(Wakil Ketua LHKP Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Bengkulu)
TERSISA satu benteng terakhir kekuatan ekologi di Pulau Sumatera, yaitu Hutan Lindung (HL) Bukit Sanggul di Provinsi Bengkulu. Namun, benteng terakhir ini kini berada di ambang keruntuhan. Berdasarkan Surat Keputusan Kementerian ESDM Nomor 91202066526110014 dan Surat Keputusan Kementerian LHK Nomor SK.533/MenLHK/Setjen/PLA.2/2023, perusahaan swasta PT. Energi Swa Dinamika Muda (ESDMu) memperoleh izin untuk melakukan kegiatan pertambangan emas hingga tahun 2045. Izin tersebut membuka peluang terjadinya pembalakan hutan, perusakan bentang alam, penimbunan danau, serta terganggunya aliran sungai di kawasan hutan lindung yang selama ini berfungsi sebagai penyangga kehidupan.
Pada saat yang sama, wilayah utara dan barat Sumatera baru saja dilanda banjir besar yang menelan korban jiwa di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Kerugian akibat bencana pada akhir November 2025 tersebut tidak terhitung nilainya. Aktivitas ekonomi lumpuh, fasilitas pendidikan rusak parah, ratusan ribu warga terpaksa mengungsi, dan akses transportasi terputus akibat ribuan titik jalan serta jembatan yang runtuh. Di tengah situasi itu, banyak kepala daerah menyatakan ketidakmampuannya untuk menangani dampak bencana yang begitu masif, sementara ancaman krisis pangan mulai membayangi masyarakat terdampak.
Bencana maha dahsyat tersebut tidak dapat dilepaskan dari kerusakan ekologi yang sistematis dan berkepanjangan. Pembalakan hutan dan kegiatan pertambangan yang tidak terkendali telah secara signifikan melemahkan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Meski hujan deras yang luar biasa turut berperan sebagai pemicu, bencana itu terjadi karena bertemunya faktor curah hujan ekstrem dan kondisi lingkungan yang telah rusak. Dengan kata lain, malapetaka tersebut merupakan hasil dari perpaduan antara fenomena alam dan tindakan manusia yang abai terhadap keseimbangan ekologis.
Hutan Lindung Bukit Sanggul, yang terletak di bagian selatan Sumatera, tepatnya di Kabupaten Seluma dan Bengkulu Selatan (Provinsi Bengkulu), serta sebagian di sekitar wilayah Kabupaten Lahat, Empat Lawang, dan Kota Pagar Alam (Provinsi Sumatera Selatan), selama ini berperan sebagai penjaga kehidupan masyarakat sekitar. Kawasan ini menjadi sumber oksigen dunia sekaligus penyangga keseimbangan ekosistem regional. Di wilayah administratif Kabupaten Seluma saja, luas Hutan Lindung Bukit Sanggul mencapai 74.152,51 hektar dan memiliki fungsi vital dalam mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, serta menjaga kesuburan tanah.
Selain itu, Hutan Lindung Bukit Sanggul merupakan hulu dari sedikitnya sepuluh sungai besar yang membentuk tujuh Daerah Aliran Sungai (DAS), yakni DAS Kungkai, DAS Seluma, DAS Talo, DAS Alas, DAS Maras, DAS Selali, dan DAS Pino. Kawasan ini juga menjadi sumber air utama bagi lahan persawahan tadah hujan masyarakat seluas 9.738,85 hektar, serta menopang sistem irigasi dua bendungan besar, yaitu Bendung Air Seluma dan Bendung Air Alas. Dengan demikian, kerusakan di kawasan ini bukan hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga menghantam langsung ketahanan pangan dan keberlangsungan hidup masyarakat.
Keseimbangan ekologis Bukit Sanggul sebagai penangkal bencana kini berada di ambang kehancuran. Apabila kegiatan pertambangan besar-besaran benar-benar dilaksanakan, maka potensi bencana banjir bandang yang selama ini terjadi di Sumatera bagian barat dan utara sangat mungkin merambah ke wilayah selatan dan timur Pulau Sumatera. Tidak akan ada lagi ruang yang benar-benar aman dari ancaman bencana ekologis. Meskipun izin dari pemerintah pusat telah dikantongi oleh PT. ESDMu, penolakan dari masyarakat dan belum adanya dukungan penuh dari pemerintah daerah menunjukkan bahwa masih ada ruang untuk mempertimbangkan kembali kebijakan yang telah diambil.
Atas dasar ancaman nyata terhadap keberlangsungan kehidupan, keselamatan masyarakat, serta masa depan ekologi Pulau Sumatera, pemerintah harus segera mengambil langkah tegas dengan membatalkan izin pertambangan emas PT. ESDMu di kawasan Hutan Lindung Bukit Sanggul. Tidak ada nilai ekonomi yang sebanding dengan hilangnya fungsi hutan sebagai penjaga air, penyangga bencana, penghasil oksigen, dan pelindung keanekaragaman hayati. Jika izin ini tetap dibiarkan berjalan, maka secara sadar bangsa ini sedang membuka pintu menuju bencana ekologis yang lebih luas, lebih parah, dan lebih mematikan di masa depan.(*)









